Sunday, June 24, 2007

PERENCANAAN TINGKAT PUSKESMAS

Perencanaan (Planning), sebagaimana tercantum dalam banyak buku text, merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Implikasinya jika fungsi ini tidak diterapkan oleh suatu organisasi dalam proses pencapaian tujuan maka bisa dikatakan bahwa institusi tersebut telah melakukan management error. Perencanaan (yang baik) bukan saja dapat menggambarkan apa-apa saja yang ingin digapai dalam interval waktu tertentu, tetapi juga dapat memberikan penjelasan mengenai tahapan-tahapan yang dilaluinya, kemudian alokasi pendanaannya, siapa mengerjakan apa, dan sebagainya. Dengan demikian untuk bisa membuat suatu perencanaan paling tidak dibutuhkan adanya orientasi yang benar tentang titik dari mana berawal, lika-liku perjalanan yang akan ditempuh, dan titik akhir yang akan dituju. Tentu saja suatu orientasi yang benar tidak mungkin diwujudkan hanya dengan mengandalkan kemampuan hati (baca:instuisi) tetapi juga kecermatan mata dalam menatap realitas dan fakta (baca: berdasar pada data). Perencanaan akan makin baik jika proporsi penggunaan kemampuan mata jauh lebih dominan dari ekploitasi kemampuan hati.
Perencanaan yang baik seakan merupakan separoh dari jaminan keberhasilan. Sementara perencanaan yang buruk merupakan jalan tol menuju kegagalan. Sedemikian urgen-nya posisi planning ini sehingga sebenarnya bisa dijadikan indikator awal untuk menilai sehat tidaknya managemen di institusi tersebut. Deteksi dini tentang tingkat kewarasan managemen berpeluang untuk mencegah terjadinya malapetaka dan penghamburan sumber daya yang demikian terbatas. Lalu bagaimana dengan planning di unit kesehatan terdepan (puskesmas) kita atau yang lebih dikenal dengan Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP)?
Puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan yang memiliki tanggung-jawab kewilayahan sudah lama diharapkan mampu untuk membuat perencanaan kegiatan secara mandiri, suatu perencanaan yang sesuai dengan permasalahan yang berkembang di wilayahnya. Jika puskesmas mampu mewujudkan harapan ini maka kebijakan pembangunan kesehatan dipastikan akan lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan karena sifatnya yang bottom up. Kenyataannya, PTP yang diidam-idamkan itu, setelah bertahun-tahun, sampai kini belum juga terlaksana meski berbagai upaya mulai dari sosialisasi sampai pelatihan-pelatihan telah dilakukan dengan menelan dana yang tidak sedikit. Puskesmas seolah dihadapkan pada imposible task jika disuruh menyusun perencaaannya secara mandiri. Kamuflase yang lalu muncul dari ketidak-becusan ini adalah pembuatan buku POA (Planning of Action) tahunan. Secara textual POA bermakna perencanaan kegiatan pusksesmas untuk jangka waktu satu tahun ke depan. Selintas ini sudah identik dengan pengertian “planning” yang seharusnya, karena di dalamnya juga termaktub soal target ke depan, pendanaan, pencapaian tahun lalu, dan sebagainya. Namun jika diselami lebih dalam akan nampak betapa “menipunya” POA ala puskesmas ini. Kejanggalan-kejanggalan itu antara lain;
Pertama, POA puskesmas, pada banyak hal, acapkali hanya sekedar “copy & paste” dari POA-POA sebelumnya. Praktis hampir tidak ada perbedaan yang bermakna pada item kegiatan ataupun angka-angka yang dirangkumnya dari tahun ke tahun. Statis dan rutin! Kata-kata itu agaknya paling pas untuk mendiskripsikan POA andalan puskesmas tersebut. Padahal dinamika masyarakat sekitar, tidak terkecuali permasalahan kesehatannya, selalu berkembang seiring perjalanan waktu. Jelas sekali di sini ada gap antara kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang dinamis dengan respon statis dan rutin yang diberikan oleh institusi kesehatan. Statisme dan keterjebakan pada rutinitas ini yang memberi kesan puskesmas seolah mahluk dungu yang selalu gagap dalam menjawab persoalan-persoalan kesehatan masyarakat yang terkadang muncul secara tak terduga.
Kedua, POA puskesmas seringkali sekedar berupa penjabaran dari kegiatan-kegiatan yang dipaketkan oleh institusi vertikal di atasnya. Kegiatan Top Down ini belum tentu sesuai dengan permasalahan kesehatan di wilayahnya. Ini artinya permasalahan-permasalahan kesehatan yang bersifat lokal spesifik besar berkemungkinan tidak tersentuh ataupun terselesaikan.
Persoalan PTP memang bukan persoalan yang berdiri sendiri. Bagaimanapun puskesmas adalah bagian dari suatu sistem raksasa yang tidak sederhana. Ketidak-mampuan puskesmas untuk merumuskan kegiatannya dalam bentuk perencanaan yang baik tidak tertutup kemungkinan memiliki hubungan sebab akibat dengan supra sistem yang melingkupinya. Mudah-mudahan sistem super komplek dan rumit (baca: supra sistem) di mana puskesmas tumbuh dan berkembang tidak berpandangan bahwa planning hanyalah bagian dari formalitas administratif alias tidaklah penting jika dibandingkan dengan kepentingan kelompok dan jabatan.
Sebagai penutup dari tulisan ini, ada baiknya kita menyadari kembali bahwa kehancuran dan penderitaan yang diakibatkan oleh adanya management error tidaklah lebih ringan dari kengerian yang diakibatkan oleh faktor human error. Dan yang terjadi pada institusi kesehatan saat ini, utamanya di puskesmas, adalah suatu management error yang sudah sangat kasat mata. Operasi radikal pada sektor managemen di institusi kesehatan sudah mendesak untuk dilakukan. Seperti yang diutarakan oleh para bijak, “ketika semua dukungan telah diberikan tetapi hasilnya tetap nol, maka masalahnya tinggal pada sisi kompetensinya.” (YY)

No comments: