Sunday, June 10, 2007

KONFLIK INTEREST

Tenaga kesehatan di Indonesia melakukan praktek swasta/pribadi? Itu sich biasa, dari dulu pun sudah begitu, sudah tradisi. Dan penyakit kita jika menghadapi hal-hal yang biasa/tradisi semacam itu adalah kemalasan untuk melakukan telaah ulang. Padahal perjalanan waktu bukanlah kotak tertutup yang imun dari terjangan-terjangan perubahan. Seperti yang tercantum dalam teori evolusi, kegagalan dalam merespon perubahan (adaptasi) hanya akan berbuah kepunahan. Telaah atau evaluasi justeru merupakan indra dari organ yang bernama adaptasi itu.
Sekian puluh tahun berselang ketika tenaga medis masih nerupakan mahluk langka kebijakan ijin praktek swasta/pribadi, bahkan untuk beberapa tempat sekaligus, merupakan solusi jitu untuk memeratakan pelayanan. Namun gene hari, saat lulusan sekolah medis mulai berjubel dan mesti berjuang keras untuk mendapat pekerjaan yang sesuai serta saat kompleksitas permasalahan kesehatan kian meningkat, wajar jika muncul pertanyaan-pertanyaan yang menggugat. Sorotan paling tajam tentu diarahkan pada tenaga medis yang berstatus PNS/PTT baik yang mengabdi di Puskesmas maupun rumah sakit. Akhir-akhir ini keluhan masyarakat akan kiprah mereka di unit pelayanan pemerintah terus menggunung. Tingkat kemangkiran, kenyamanan pelayanan, keramahan adalah hal-hal yang kerap jadi bahan pergunjingan. Ini yang lalu menciptakan image di masyarakat bahwa pelayanan kesehatan di unit pemerintah berada pada kelas kambing alias sangat tidak memuaskan dan sangat tidak bermutu. Hanya orang-orang yang terpaksa saja (baik dipaksa oleh faktor ekonomi maupun faktor keadaan lainnya) yang berobat di sana. Masyarakat kebanyakan, utamanya yang secara ekonomi cukup mampu, lebih memilih pergi ke pelayanan swasta/pribadi yang ironisnya tak jarang pemberi jasanya merupakan pegawai dari unit-unit pelayanan pemerintah yang mereka hindari.
Kenapa bisa terjadi standart pelayanan ganda pada diri para tenaga medis tersebut. Jawabnya sederhana saja, DUIT!!! Mereka berdiri pada posisi yang cukup dilematis. Bidang garapan yang sama menempatkan para manusia setengah dewa ini pada kerancuan kepentingan. Jika mereka all out di unit kerja pemerintah maka praktek swasta/pribadi mereka akan sepi yang berarti berkurangnya pendapatan. Namun sebaliknya jika mereka all out pada praktek swasta/pribadi dengan sedikit menutup mata pada unit pelayanan pemerintah yang memberi mereka gaji maka kadar keimanan mereka menurun. Toh pada akhirnya kebanyakan memilih untuk mengorbankan keimanan karena di dunia Tuhan tidak meributkan hal itu. Suatu pilihan yang logis meski jelas tidak bermoral.
Dari sinilah timbul sikap skeptis terhadap segala upaya perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan di unit pemerintah. Mungkinkah suatu institusi bisa mengembangkan diri jika pesaingannya justeru adalah orang-orangnya sendiri. Pembusukan mungkin pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Kecilnya sistem penggajian PNS adalah dalih ampuh untuk mengelak dari tuduhan rakus. Namun apa dalih untuk standart pelayanan ganda?
Untuk memperjelas, ambil saja contoh kasus pelayanan di kebanyakan puskesmas yang dokternya juga membuka praktek pribadi di sekitar-sekitar situ. Seringkali dengan berbagai alasan sang dokter berusaha meminimalisir kontak langsungnya dengan pelayanan pasien rawat jalan. Tameng yang digunakan adalah SK Menkes tempo doeloe yang menyatakan fungsi dokter di puskesmas adalah sebagai rujukan medis dan rujukan menejemen. Ketentuan itu tentu memprihatikan jika masih digenggam erat di hare gene. Pertama, fungsi dokter sebagai rujukan medis. Yang mesti kita ingat adalah puskesmas sebagai merupakan unit palayanan dasar. Dimana pun pengertian dasar adalah yang posisinya dalam hirarki berada paling bawah. Dengan demikian puskesmas bukanlah menjadi tujuan rujukan tetapi awal dari proses rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (baca: rumah sakit). Bunyi SK yang menyatakan dokter sebagai rujukan medis ini yang lalu ditafsiri sebagai legalitas penanganan pasien rawat jalan puskesmas oleh tenaga paramedis yang jika lalu mengalami kesulitan melakukan konsultasi (rujukan) ke dokter. Realitas bahwa sebagian besar pasien puskesmas ditangani tenaga paramedis menguatkan dugaan ini. Lalu apa yang janggal pada mekanisme tersebut? Dari sisi profesionalitas jelas memalukan. Kurikulum pendidikan perawat hanya sebatas menegakkan diagnosa keperawatan dan sama sekali bukan menegakkan diagnosa medis. Apa namanya jika seseorang “dipaksa” untuk melakukan hal-hal diluar keahliannya sementara ahlinya sendiri ada di situ dan sedang tidak berhalangan. Dari sisi pasien jelas sangat mengkhawatirkan. Mendiagnosa penyakit bukanlah perkara sederhana. Seorang dokter ahli saja terbuka peluang untuk melakukan kesalahan apalagi Cuma tenaga perawat yang memang tidak dididik untuk itu. Setiap kesalahan diagnosa berujung pada kesalahan terapi. Suatu kesalahan terapi bukan saja tidak dapat menyembuhkan namun juga berpotensi mengundang permasalahan yang lebih komplek. Pantaskan kata puskesmas yang merupakan singkatan dari pusat kesehatan masyarakat tetap disandang jika masyarakat yang datang berkunjung justeru ditempatkan pada posisi riskan.
Kedua, fungsi dokter sebagai rujukan manajemen. Lagi-lagi kita akan tercengang jika fungsi ini tetap diamini pada hare gene. Kurikulum pendidikan dokter sama sekali tidak mencakup pelajaran tentang planning, actuating, organizing, controlling, dan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Bagaimana mungkin merujuk sesuatu pada orang yang sama sekali awam. Bukankah kehancuran dimulai dari penyerahan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Beban dokter dalam bidang manajemen ini juga yang kerap dijadikan medan persembunyian dalam menghindari pasien rawat jalan.
Kalau dicermati, sepertinya ada pengaruh yang significant antara rendahnya tingkat keterlibatan dokter dalam penanganan pasien rawat jalan dengan tingginya angka kunjungan masyarakat pada praktek swasta/pribadi mereka. Lalu siapa yang paling dirugikan dengan fenomena adanya perusahaan dalam perusahaan seperti ini? Lalu alternatif solusi apa yang paling mungkin.
Kebijakan untuk melakukan pembatasan, kalau tidak boleh dikatakan sebagai pelarangan, para tenaga kesehatan pemerintah melakukan praktek swasta/pribadi nampaknya sudah harus mulai dipertimbangkan. Momentumnya cukup tepat karena kosongnya praktek-praktek swasta/pribadi bisa diisi oleh tenaga-tenaga kesehatan yang tidak terserap di unit-unit pelayanan formal. Ini tentu sangat adil bagi kolegalitas dokter itu sendiri sekaligus sangat bermartabat karena kemungkinan dokter untuk jadi pengangguran bisa diperkecil. Nantinya dokter-dokter baru tinggal memilih akan mengabdi dijalur pemerintah dengan segala konsekwensinya atau mandiri. Mulai munculnya gejala dokter mengambil posisi sebagai tenaga sukarela (sukwan) di beberapa institusi degnan gaji yang sangat “melecehkan” tentu bisa terjawab dengan kebijakan ini. Lalu bagaimana dengan kondisi gaji PNS yang masih kecil seperti yang selama ini dipersoalkan? Jawabnya sederhana saja, bukankah PNS dari keahlian lain bisa menerima keadaan ini sambil tetap bersabar menunggu adanya perbaikkan. Bahkan mereka pun menerima ketika diputuskan bahwa seorang PNS tidak boleh berbisnis. Rasanya secara essensial tidak ada beda antara berbisnis dengan membuka praktek swasta/pribadi. Jadi jika kebijakan ini diambil, terpulang lagi kepada si dokter untuk memutuskan menjadi PNS atau praktek swasta. (31 mei 2007)

No comments: