Sunday, June 24, 2007

PERENCANAAN TINGKAT PUSKESMAS

Perencanaan (Planning), sebagaimana tercantum dalam banyak buku text, merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Implikasinya jika fungsi ini tidak diterapkan oleh suatu organisasi dalam proses pencapaian tujuan maka bisa dikatakan bahwa institusi tersebut telah melakukan management error. Perencanaan (yang baik) bukan saja dapat menggambarkan apa-apa saja yang ingin digapai dalam interval waktu tertentu, tetapi juga dapat memberikan penjelasan mengenai tahapan-tahapan yang dilaluinya, kemudian alokasi pendanaannya, siapa mengerjakan apa, dan sebagainya. Dengan demikian untuk bisa membuat suatu perencanaan paling tidak dibutuhkan adanya orientasi yang benar tentang titik dari mana berawal, lika-liku perjalanan yang akan ditempuh, dan titik akhir yang akan dituju. Tentu saja suatu orientasi yang benar tidak mungkin diwujudkan hanya dengan mengandalkan kemampuan hati (baca:instuisi) tetapi juga kecermatan mata dalam menatap realitas dan fakta (baca: berdasar pada data). Perencanaan akan makin baik jika proporsi penggunaan kemampuan mata jauh lebih dominan dari ekploitasi kemampuan hati.
Perencanaan yang baik seakan merupakan separoh dari jaminan keberhasilan. Sementara perencanaan yang buruk merupakan jalan tol menuju kegagalan. Sedemikian urgen-nya posisi planning ini sehingga sebenarnya bisa dijadikan indikator awal untuk menilai sehat tidaknya managemen di institusi tersebut. Deteksi dini tentang tingkat kewarasan managemen berpeluang untuk mencegah terjadinya malapetaka dan penghamburan sumber daya yang demikian terbatas. Lalu bagaimana dengan planning di unit kesehatan terdepan (puskesmas) kita atau yang lebih dikenal dengan Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP)?
Puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan yang memiliki tanggung-jawab kewilayahan sudah lama diharapkan mampu untuk membuat perencanaan kegiatan secara mandiri, suatu perencanaan yang sesuai dengan permasalahan yang berkembang di wilayahnya. Jika puskesmas mampu mewujudkan harapan ini maka kebijakan pembangunan kesehatan dipastikan akan lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan karena sifatnya yang bottom up. Kenyataannya, PTP yang diidam-idamkan itu, setelah bertahun-tahun, sampai kini belum juga terlaksana meski berbagai upaya mulai dari sosialisasi sampai pelatihan-pelatihan telah dilakukan dengan menelan dana yang tidak sedikit. Puskesmas seolah dihadapkan pada imposible task jika disuruh menyusun perencaaannya secara mandiri. Kamuflase yang lalu muncul dari ketidak-becusan ini adalah pembuatan buku POA (Planning of Action) tahunan. Secara textual POA bermakna perencanaan kegiatan pusksesmas untuk jangka waktu satu tahun ke depan. Selintas ini sudah identik dengan pengertian “planning” yang seharusnya, karena di dalamnya juga termaktub soal target ke depan, pendanaan, pencapaian tahun lalu, dan sebagainya. Namun jika diselami lebih dalam akan nampak betapa “menipunya” POA ala puskesmas ini. Kejanggalan-kejanggalan itu antara lain;
Pertama, POA puskesmas, pada banyak hal, acapkali hanya sekedar “copy & paste” dari POA-POA sebelumnya. Praktis hampir tidak ada perbedaan yang bermakna pada item kegiatan ataupun angka-angka yang dirangkumnya dari tahun ke tahun. Statis dan rutin! Kata-kata itu agaknya paling pas untuk mendiskripsikan POA andalan puskesmas tersebut. Padahal dinamika masyarakat sekitar, tidak terkecuali permasalahan kesehatannya, selalu berkembang seiring perjalanan waktu. Jelas sekali di sini ada gap antara kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang dinamis dengan respon statis dan rutin yang diberikan oleh institusi kesehatan. Statisme dan keterjebakan pada rutinitas ini yang memberi kesan puskesmas seolah mahluk dungu yang selalu gagap dalam menjawab persoalan-persoalan kesehatan masyarakat yang terkadang muncul secara tak terduga.
Kedua, POA puskesmas seringkali sekedar berupa penjabaran dari kegiatan-kegiatan yang dipaketkan oleh institusi vertikal di atasnya. Kegiatan Top Down ini belum tentu sesuai dengan permasalahan kesehatan di wilayahnya. Ini artinya permasalahan-permasalahan kesehatan yang bersifat lokal spesifik besar berkemungkinan tidak tersentuh ataupun terselesaikan.
Persoalan PTP memang bukan persoalan yang berdiri sendiri. Bagaimanapun puskesmas adalah bagian dari suatu sistem raksasa yang tidak sederhana. Ketidak-mampuan puskesmas untuk merumuskan kegiatannya dalam bentuk perencanaan yang baik tidak tertutup kemungkinan memiliki hubungan sebab akibat dengan supra sistem yang melingkupinya. Mudah-mudahan sistem super komplek dan rumit (baca: supra sistem) di mana puskesmas tumbuh dan berkembang tidak berpandangan bahwa planning hanyalah bagian dari formalitas administratif alias tidaklah penting jika dibandingkan dengan kepentingan kelompok dan jabatan.
Sebagai penutup dari tulisan ini, ada baiknya kita menyadari kembali bahwa kehancuran dan penderitaan yang diakibatkan oleh adanya management error tidaklah lebih ringan dari kengerian yang diakibatkan oleh faktor human error. Dan yang terjadi pada institusi kesehatan saat ini, utamanya di puskesmas, adalah suatu management error yang sudah sangat kasat mata. Operasi radikal pada sektor managemen di institusi kesehatan sudah mendesak untuk dilakukan. Seperti yang diutarakan oleh para bijak, “ketika semua dukungan telah diberikan tetapi hasilnya tetap nol, maka masalahnya tinggal pada sisi kompetensinya.” (YY)

Sunday, June 10, 2007

KONFLIK INTEREST

Tenaga kesehatan di Indonesia melakukan praktek swasta/pribadi? Itu sich biasa, dari dulu pun sudah begitu, sudah tradisi. Dan penyakit kita jika menghadapi hal-hal yang biasa/tradisi semacam itu adalah kemalasan untuk melakukan telaah ulang. Padahal perjalanan waktu bukanlah kotak tertutup yang imun dari terjangan-terjangan perubahan. Seperti yang tercantum dalam teori evolusi, kegagalan dalam merespon perubahan (adaptasi) hanya akan berbuah kepunahan. Telaah atau evaluasi justeru merupakan indra dari organ yang bernama adaptasi itu.
Sekian puluh tahun berselang ketika tenaga medis masih nerupakan mahluk langka kebijakan ijin praktek swasta/pribadi, bahkan untuk beberapa tempat sekaligus, merupakan solusi jitu untuk memeratakan pelayanan. Namun gene hari, saat lulusan sekolah medis mulai berjubel dan mesti berjuang keras untuk mendapat pekerjaan yang sesuai serta saat kompleksitas permasalahan kesehatan kian meningkat, wajar jika muncul pertanyaan-pertanyaan yang menggugat. Sorotan paling tajam tentu diarahkan pada tenaga medis yang berstatus PNS/PTT baik yang mengabdi di Puskesmas maupun rumah sakit. Akhir-akhir ini keluhan masyarakat akan kiprah mereka di unit pelayanan pemerintah terus menggunung. Tingkat kemangkiran, kenyamanan pelayanan, keramahan adalah hal-hal yang kerap jadi bahan pergunjingan. Ini yang lalu menciptakan image di masyarakat bahwa pelayanan kesehatan di unit pemerintah berada pada kelas kambing alias sangat tidak memuaskan dan sangat tidak bermutu. Hanya orang-orang yang terpaksa saja (baik dipaksa oleh faktor ekonomi maupun faktor keadaan lainnya) yang berobat di sana. Masyarakat kebanyakan, utamanya yang secara ekonomi cukup mampu, lebih memilih pergi ke pelayanan swasta/pribadi yang ironisnya tak jarang pemberi jasanya merupakan pegawai dari unit-unit pelayanan pemerintah yang mereka hindari.
Kenapa bisa terjadi standart pelayanan ganda pada diri para tenaga medis tersebut. Jawabnya sederhana saja, DUIT!!! Mereka berdiri pada posisi yang cukup dilematis. Bidang garapan yang sama menempatkan para manusia setengah dewa ini pada kerancuan kepentingan. Jika mereka all out di unit kerja pemerintah maka praktek swasta/pribadi mereka akan sepi yang berarti berkurangnya pendapatan. Namun sebaliknya jika mereka all out pada praktek swasta/pribadi dengan sedikit menutup mata pada unit pelayanan pemerintah yang memberi mereka gaji maka kadar keimanan mereka menurun. Toh pada akhirnya kebanyakan memilih untuk mengorbankan keimanan karena di dunia Tuhan tidak meributkan hal itu. Suatu pilihan yang logis meski jelas tidak bermoral.
Dari sinilah timbul sikap skeptis terhadap segala upaya perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan di unit pemerintah. Mungkinkah suatu institusi bisa mengembangkan diri jika pesaingannya justeru adalah orang-orangnya sendiri. Pembusukan mungkin pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Kecilnya sistem penggajian PNS adalah dalih ampuh untuk mengelak dari tuduhan rakus. Namun apa dalih untuk standart pelayanan ganda?
Untuk memperjelas, ambil saja contoh kasus pelayanan di kebanyakan puskesmas yang dokternya juga membuka praktek pribadi di sekitar-sekitar situ. Seringkali dengan berbagai alasan sang dokter berusaha meminimalisir kontak langsungnya dengan pelayanan pasien rawat jalan. Tameng yang digunakan adalah SK Menkes tempo doeloe yang menyatakan fungsi dokter di puskesmas adalah sebagai rujukan medis dan rujukan menejemen. Ketentuan itu tentu memprihatikan jika masih digenggam erat di hare gene. Pertama, fungsi dokter sebagai rujukan medis. Yang mesti kita ingat adalah puskesmas sebagai merupakan unit palayanan dasar. Dimana pun pengertian dasar adalah yang posisinya dalam hirarki berada paling bawah. Dengan demikian puskesmas bukanlah menjadi tujuan rujukan tetapi awal dari proses rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (baca: rumah sakit). Bunyi SK yang menyatakan dokter sebagai rujukan medis ini yang lalu ditafsiri sebagai legalitas penanganan pasien rawat jalan puskesmas oleh tenaga paramedis yang jika lalu mengalami kesulitan melakukan konsultasi (rujukan) ke dokter. Realitas bahwa sebagian besar pasien puskesmas ditangani tenaga paramedis menguatkan dugaan ini. Lalu apa yang janggal pada mekanisme tersebut? Dari sisi profesionalitas jelas memalukan. Kurikulum pendidikan perawat hanya sebatas menegakkan diagnosa keperawatan dan sama sekali bukan menegakkan diagnosa medis. Apa namanya jika seseorang “dipaksa” untuk melakukan hal-hal diluar keahliannya sementara ahlinya sendiri ada di situ dan sedang tidak berhalangan. Dari sisi pasien jelas sangat mengkhawatirkan. Mendiagnosa penyakit bukanlah perkara sederhana. Seorang dokter ahli saja terbuka peluang untuk melakukan kesalahan apalagi Cuma tenaga perawat yang memang tidak dididik untuk itu. Setiap kesalahan diagnosa berujung pada kesalahan terapi. Suatu kesalahan terapi bukan saja tidak dapat menyembuhkan namun juga berpotensi mengundang permasalahan yang lebih komplek. Pantaskan kata puskesmas yang merupakan singkatan dari pusat kesehatan masyarakat tetap disandang jika masyarakat yang datang berkunjung justeru ditempatkan pada posisi riskan.
Kedua, fungsi dokter sebagai rujukan manajemen. Lagi-lagi kita akan tercengang jika fungsi ini tetap diamini pada hare gene. Kurikulum pendidikan dokter sama sekali tidak mencakup pelajaran tentang planning, actuating, organizing, controlling, dan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Bagaimana mungkin merujuk sesuatu pada orang yang sama sekali awam. Bukankah kehancuran dimulai dari penyerahan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya. Beban dokter dalam bidang manajemen ini juga yang kerap dijadikan medan persembunyian dalam menghindari pasien rawat jalan.
Kalau dicermati, sepertinya ada pengaruh yang significant antara rendahnya tingkat keterlibatan dokter dalam penanganan pasien rawat jalan dengan tingginya angka kunjungan masyarakat pada praktek swasta/pribadi mereka. Lalu siapa yang paling dirugikan dengan fenomena adanya perusahaan dalam perusahaan seperti ini? Lalu alternatif solusi apa yang paling mungkin.
Kebijakan untuk melakukan pembatasan, kalau tidak boleh dikatakan sebagai pelarangan, para tenaga kesehatan pemerintah melakukan praktek swasta/pribadi nampaknya sudah harus mulai dipertimbangkan. Momentumnya cukup tepat karena kosongnya praktek-praktek swasta/pribadi bisa diisi oleh tenaga-tenaga kesehatan yang tidak terserap di unit-unit pelayanan formal. Ini tentu sangat adil bagi kolegalitas dokter itu sendiri sekaligus sangat bermartabat karena kemungkinan dokter untuk jadi pengangguran bisa diperkecil. Nantinya dokter-dokter baru tinggal memilih akan mengabdi dijalur pemerintah dengan segala konsekwensinya atau mandiri. Mulai munculnya gejala dokter mengambil posisi sebagai tenaga sukarela (sukwan) di beberapa institusi degnan gaji yang sangat “melecehkan” tentu bisa terjawab dengan kebijakan ini. Lalu bagaimana dengan kondisi gaji PNS yang masih kecil seperti yang selama ini dipersoalkan? Jawabnya sederhana saja, bukankah PNS dari keahlian lain bisa menerima keadaan ini sambil tetap bersabar menunggu adanya perbaikkan. Bahkan mereka pun menerima ketika diputuskan bahwa seorang PNS tidak boleh berbisnis. Rasanya secara essensial tidak ada beda antara berbisnis dengan membuka praktek swasta/pribadi. Jadi jika kebijakan ini diambil, terpulang lagi kepada si dokter untuk memutuskan menjadi PNS atau praktek swasta. (31 mei 2007)

NEO FIR'AUN

Konon menurut para ahli agama, Fir’aun ditenggelamkan Tuhan bukan karena dia mengaku-aku sebagai tuhan tetapi lebih dikarenakan dia telah melakukan kesewenang-wenangan dan berbuat kerusakan. Sejarah mencatat, bagaimana fir’aun memperbudak satu golongan (bani israel) demi melanggengkan kekuasaannya (beserta kaumnya yang note bene adalah bangsa mesir). Tidak tanggung-tanggung, Fir’aun bahkan merusaha mencegah golongan tertindas ini hijrah ke tempat yang lebih baik. Kekuasaan cenderung untuk menggelincirkan (power tend to corrupt) dan itu bukan saja terjadi di masa lalu tetapi berlangsung hingga detik ini. Meski Fir’aun dengan kerajaan mesir kunonya telah terhapus dari permukaan bumi, praktek-praktek ala Fir’aun tetap mewarnai kehidupan umat manusia. Pertarungan melanggengkan kekuasaan kerap membawa manusia melampaui batas dan mendorongnya untuk menjadi mahluk cacat (punya mata tetapi tidak bisa melihat, punya telinga tetapi tidak bisa mendengar, punya hati tetapi tidak bisa berempati). Energi negatif Fir’aun ini berkemampuan untuk berhembus kemana-mana, termasuk di jajaran birokrasi yang idealnya terjaga dari politik praktis kekuasaan.
Institusi kesehatan Indonesia beserta seluruh jajarannya ke bawah, barangkali menjadi yang paling disoroti, jika tidak mau dikatakan yang paling ekstrem, berkaitan dengan kontamisasi energi fir’aun. Dominasi profesi dokter begitu lekat di lembaga ini sampai-sampai muncul istilah departemen kedokteran dan bukan departemen kesehatan untuk menggambarkan kuatnya hegemonitas dokter. Dalam sistem pengelolaan sumber daya manusia di institusi ini seolah hanya mengenal dua katagori saja yakni dokter dan non-dokter. Golongan dokter dengan previlagenya yang luar biasa dalam soal karier serta jabatan kunci dan golongan non-dokter yang boleh dibilang hanya sekedar pelengkap penderita. Pengejah-wantahan lebih lanjut dari tata kepegawaian semacam itu adalah terjadinya penyekatan strata karier yang tidak mungkin dapat ditembus. Jadi jika anda masuk jadi pegawai dengan menggunakan ijazah SLTA, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, dll meski pada perjalanan kepegawaian selanjutnya anda telah menamatkan pendidikan S1, S2, dan seterusnya, persoalan karir tetaplah menjadi area tertutup (forbidden area) bagi anda. Namun sebaliknya jika anda terlahir dari almamater kedokteran, seburuk apapun kemampuan managerial anda, peluang jabatan masih tetap terbuka (paling sial sebagai kepala puskesmas / eselon VI). Cobalah sesekali anda perhatikan puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, ataupun institusi kesehatan terdekat lainnya, berapa persen sich yang jabatan kuncinya dipegang oleh golongan non-dokter. Bahkan tak jarang pengosongan jabatan untuk waktu yang relatif panjang pun ditempuh karena belum adanya kandidat dokter meski profesi lain yang sangat kualified cukup berlimpah di sana. Di puskesmas kondisinya bisa lebih parah dengan terjadinya pembusukan aturan administratif kepegawaian yang dilakukan secara enteng dan kasat mata. Contohnya penunjukan pegawai tidak tetap sebagai kepala puskesmas (eselon VI) hanya lantaran yang bersangkutan seorang dokter.
Model perekrutan pemimpin yang tendensius semacam ini tentu beresiko karena kesempatan istitusi untuk mendapat tenaga terbaiknya menjadi semakin dipersempit. Profesionalitas pun hanya sekedar wacana. Institusi lebih mirip sebuah perusahaan keluarga yang seringkali mempunyai kebijakan yang “ajaib” berdasarkan filosofi dan prinsip keluarga. Padahal jika kita telaah secara jernih, keahlian yang dibutuhkan untuk jabatan-jabatan struktural seperti kepala puskesmas, kepala bidang, kepala dinas, kepala rumah sakit, dll adalah kemampuan-kemampuan manajerial, dan bukan kemampuan tehnis (kedokteran). Belum bakunya standart minimal profesionalitas seorang pejabat struktural pada institusi publik telah memberi kesempatan para fir’aunis untuk mengembangkan lingkungan “family business”.
Argumen fungsionalitas institusi kesehatan yang menempatkan profesi dokter sebagai figur sentral juga kurang lagi tepat. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal yang kian komplek menuntut organisasi untuk makin adaptable dan cerdas jika tidak ingin teraliansi dan tercerabut dari akarnya. Kemampuan membaca lingkungan, kemampuan menjalankan suatu proses, kemampuan “fixing problem” bila terjadi kemacetan adalah prasyarat mendasar yang jelas-jelas tidak didapat dari keterampilan dan sertifikasi kurikulum pendidikan kedokteran. Lalu kenapa para lulusan yang masih ingusan dari fakultas kedokteran bisa langsung menjadi kepala puskesmas? Jawabnya adalah karena institusi kesehatan bukan lagi institusi publik melainkan perusahaan keluarga yang kebijakannya tergantung pada “mood” pemiliknya.
Coba bandingkan dengan institusi fungsionalitas lain seperti institusi pendidikan misalnya. Di institusi pendidikan ini rekruitmen kepemimpinannya jauh lebih sehat. Seorang guru baru yang sama sekali tidak memiliki pengalaman birokrasi tidak akan serta merta bisa menjadi kepala sekolah hanya lantaran dia alumnus jurusan tertentu. Proses pematangan dan seleksi berlangsung secara alamia. Arogansi primordial pun tidak menemukan tempatnya. Urusan karir mutlak menjadi pilihan bagi pegawai bersangkutan. mereka bebas menentukkan pengabdian di jalur struktural atau tetap menekuni fungsionalnya sebagai tenaga pengajar. Institusi hanya tinggal menyediakan lahan dan lingkungan yang sehat dan kondusif berupa kesamaan kesempatan dan kepastian hukum.
Ketimpangan di institusi kesehatan ini identik dengan pola pemerintahan fir’aun di mana yang pihak yang terlahir dari satu golongan (bangsa mesir) mendapat hak-hak istimewa sementara yang naas terlahir dari segolongan lainnya (bani israel) hanya mendapat jatah sebagai budak seumur hidup sepotensial apapun dia. Fir’aun tidak mau menerima kenyataan sejarah bahwa negerinya pernah berjaya ketika seorang keturunan bani israel (Yusuf/Yosep) memperoleh tempat pada jejaring kekuasaan kerajaan mesir. Bandingan juga praktek di institusi kesehatan ini dengan (almarhum) politik perbedaan warna kulit di afrika selatan. Semua setali tiga uang. Semua bersumber dari kerakusan akan kekuasaan. Semua diakibatkan oleh kekotoran keyakinan akan hegemonitas. Semua membabi-buta menginjak-injak prinsip universalitas.
Elit institusi kesehatan Indonesia bisa saja berkelit dengan menyatakan telah dikeluarkannya sejumlah peraturan yang mendukung prinsip kesamaan kesempatan seperti misalnya SK menkes tahun 2004 tentang puskesmas. Namun semua itu baru pada tahapan dejure. Defacto-nya, tarian nafsu fir’aun tetap meliuk-liuk dengan bebasnya, pola perusahaan keluarga tetap bertahan terus. Sebuah lagi aturan yang sekedar hanya jadi tameng dan pajangan dibuat. Kuatnya sinyal kegagalan misi institusi kesehatan seperti misalnya makin intensnya kemunculan berbagai wabah, amburadulnya pelayanan, tidak jelasnya konsep, lemahnya manajemen, dll seolah hanya sekedar menjadi kerlip lampu disco yang membuat suasana pesta pora tambah semarak. Entah kapan tangan Tuhan akan menenggelamkan para fir’aunis ini. TNI telah berhasil mereformasi dirinya hinga tidak ada lagi matra yang dominan dan merasa diri paling berhak untuk menduduki jabatan pangab. Dephankam juga telah berhasil berbenah hingga menterinya tidak lagi harus dari latar belakang militer. Demikian juga dengan Polri yang kini tidak lagi merasa inferior dan mampu berdiri sejajar dengan TNI. Dimana kau “Musa”, dimana kau “Nelson Mandela”. Kapankah institusi kesehatan melakukan pertobatan. Kapankah ada presiden yang berani menunjuk menkes bukan dari dokter, kapan ada gubernur/walikota/bupati yang berani memilih pejabat non-dokter sebagai kepala dinas. Kapan ada pejabat publik yang berani memilih non-dokter sebagai kepala rumah sakit. Kapan kesetaraan kesempatan dan keadilan menjiwai pengelolaan SDM di institusi kesehatan. Kapan? Mudah-mudahan jangan sampai menjadi KAPAN-KAPAN!

JANGAN CUMA JADI INSTITUSI PEMBUAL

“… Visi tanpa tindakan hanyalah bualan, tindakan tanpa visi adalah malapetaka …”
Tahun 2010 merupakan tahun keramat bagi insan kesehatan Indonesia. Di tahun ini visi yang dicanangkan pada masa pemerintahan Gus Dur mencapai limit waktunya. Akankah harapan-harapan besar yang melekat pada visi itu terwujud atau malah sebaliknya tinggal jorgan semata. Kredibilitas institusi kesehatan Indonesia jelas dipertaruhkan di sana.
Secara teoritis, ketika sebuah visi telah dicanangkan maka seluruh sumber daya yang ada akan dikerahkan sepenuhnya untuk mewujudkan. Semua komponen organisasi, dari pucuk atas hingga akar yang paling bawah, dituntut untuk berkonstribusi sesuai tupoksinya masing-masing. Untuk bisa berkontribusi mereka harus tahu apa yang mesti dikerjakan. Untuk tahu apa mesti dikerjakan mereka harus mengerti detail visi organisasi. Mengerti tentu beda sekali dengan mengetahui. Ketika saya fasih mengucapkan Indonesia Sehat 2010 tetapi tidak memahami keadaan sehat 2010 yang ingin diwujudkan itu seperti apa, maka jelas tingkatan saya belum pada tahap mengetahui. Dan suatu visi baru punya POTENSI untuk TERWUJUD jika para pelakunya berada pada level memahami. Lantas bagaimana dengan insan kesehatan Indonesia, sudahkah sampai pada tingkatan memahami. Jika ditilik bahwa tahun 2010 tinggallah sebentar lagi tentu rasanya tidak perlu mempertanyakan tingkat pemahaman itu karena so pasti sudah mendarah-daging. Namun tidak ada salahnya jika kita memastikan, bukan. Paling tidak sekedar untuk memuaskan keingin-tahuan. Lebih-lebih baru-baru ini seorang dosen bidang ilmu kesehatan dari sebuah perguruan tinggi negeri terkenal pada suatu acara seminar mengatakan bahwa visi Indonesia sehat 2010 tinggallah wacana. Wow….. alangkah tragisnya jika ucapan beliau benar. Jadi pembangunan kesehatan kita selama ini diarahkan kemana??? Benarkah semua ini karena visi itu masih demikian elitis hingga hanya segelintir top level manajemen yang memahami. Benarkah rumor bahwa institusi kesehatan menganut prinsip no management pada organisasi mereka?
Orang awam semacam saya, mahasiswa, tokoh masyarakat, aparat desa, camat, bupati, gubernur, presiden, maupun anggota dewan di semua tingkatan dapat mengajukan beberapa pertanyaan sederhana untuk menilai seberapa paham para pekerja kesehatan yang ada di sekitar kita akan visi Indonesia sehat 2010. Sebuah visi, seperti Indonesia 2030 misalnya, bagaimanapun tentu memiliki indikator-indikator pencapaian. Contoh indikator untuk Indonesia 2030 adalah perekonomian Indonesia akan menjadi kekuatan nomer 5 di dunia, PDB Indonesia bisa mencapai 5,1 triliun $US dengan pendapatan perkapita US$ 18.000 per tahun. Kepahaman tentang Indikator ini yang kita jadikan pertanyaan awal. Jika jawaban yang diberikan praktisi kesehatan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Pertanyaan kunci kedua adalah sampai saat ini berapa persen sich dari visi tersebut yang telah tercapai. Jadi esensi yang kita tanyakan adalah sudah seberapa jauh kita melangkah dan sudah seberapa dekat dengan sasaran, serta mungkinkah dengan sisa waktu yang ada kita meraihnya. Sama dengan pertanyaan awal, jika jawaban yang diberikan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Pertanyaan terakhir adalah di mana posisi pekerja kesehatan tersebut dalam struktur besar visi Indonesia sehat 2010 tersebut dan konstribusi apa yang mesti diberikannya untuk perwujudannya. Intinya kita ingin menilai seberapa tahu dia akan tugas dan kewajiban (baca: tupoksi) yang diembannya. Juga masih sama dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, jika jawaban yang diberikan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Ketidak-pahaman satu dua orang dalam suatu institusi besar, secara organisatoris, barangkali masih bisa diterima meski tetap tidak bisa ditolelir. Namun jika ketidak-mengertian ini meluas secara vertikal dan horisontal, apalagi juga menyentuh pada posisi-posisi kunci seperti kepala puskesmas, kapala bidang, kepala dinas, dan seterusnya, maka kapabilitas institusi tersebut patut dipertanyakan. Keefektifan manajemen di institusi tersebut juga layak digugat. Jangan-jangan benar ada kaidah NO MANAGEMENT di sana. Kenapa demikian? Untuk gugatan pertama, kita ilustrasikan saja seperti dalam suatu peperangan, akankah diperoleh kejayaan jika para komandan lapangannya sama sekali tidak mengerti pertempuran-pertempuran apa yang harus mereka menangkan. Dan seperti yang dikatakan oleh orang-orang bijak, bahwa ketika semua dukungan sudah diberikan tetapi hasilnya juga tetap nol besar, maka satu-satunya persoalan adalah pada sisi kapabilitasnya. Untuk gugatan kedua, salah satu fungsi dari manajemen adalah planning. Putusnya informasi tentang visi ke berbagai komponen organisasi menunjukkan bahwa planning di institusi tersebut asal-asalan. Ini bisa disebabkan karena memang dari awal sudah tidak ada niatan untuk mewujudkan visi atau bisa juga karena kemampuan dalam membuat perencaan ya cuma sebatas itu. Fungsi yang lain dari manajemen adalah controlling yang didalamnya mencakup evaluasi. Ketidak-jelasan/ketidak-tahuan tentang indikator pencapaian membuat pelaksaan evaluasi menjadi hal yang sulit kalau tidak mau dikatakan mustahil. Jika fungsi evaluating/controlling ini juga tidak jalan (ditambah fungsi perencanaan yang asal-asalan) tidak salah khan jika dikatakan istitusi tersebut menerapkan NO MANAGEMENT. No management berarti tidak ada tindakan konkrit. Tidak ada tindakan konkrit berarti cuma membual. Reformasi radikal adalah obat untuk institusi sakit semacam ini yang dalam bahasa ektremnya, mengutip ucapan GUS DUR pada sidang interpelasi pembubaran departemen sosial beberapa tahun silam, “… kalau menuruti kata hati, Depkes itu harusnya juga dibubarkan….”.
Nah, para anak bangsa, para pemerhati kesehatan, para stake holder, dan semua-semuanya saja, mari kita mulai mencermati derap pembangunan kesehatan kita supaya jangan sampai hanya berputar-putar tanpa arah. Jangan segan untuk melakukan pembenahan sesuai dengan kewenangan yang ada. Kalau perlu kita lakukan gerakan-gerakan pembaikotan, baik yang bersifat individu maupun institusi. Gerakan pembaikotan itu dapat berupa penolakan terhadap pejabat kesehatan yang terbukti pembual, gerakan penghentian anggaran terhadap semua kegiatan yang keluar dari koridor visi, dan sebagainya sesuai keadaan dan kewenangan masing-maswing. Bagaimanapun, menyerahkan urusan kepada para pembual akan hanya sangat menguras sumber daya yang begitu terbatas. Dan yang paling parah adalah peluang munculnya malapetaka yang disebabkan oleh pemimpin yang tidak punya visi.