Sunday, June 10, 2007

JANGAN CUMA JADI INSTITUSI PEMBUAL

“… Visi tanpa tindakan hanyalah bualan, tindakan tanpa visi adalah malapetaka …”
Tahun 2010 merupakan tahun keramat bagi insan kesehatan Indonesia. Di tahun ini visi yang dicanangkan pada masa pemerintahan Gus Dur mencapai limit waktunya. Akankah harapan-harapan besar yang melekat pada visi itu terwujud atau malah sebaliknya tinggal jorgan semata. Kredibilitas institusi kesehatan Indonesia jelas dipertaruhkan di sana.
Secara teoritis, ketika sebuah visi telah dicanangkan maka seluruh sumber daya yang ada akan dikerahkan sepenuhnya untuk mewujudkan. Semua komponen organisasi, dari pucuk atas hingga akar yang paling bawah, dituntut untuk berkonstribusi sesuai tupoksinya masing-masing. Untuk bisa berkontribusi mereka harus tahu apa yang mesti dikerjakan. Untuk tahu apa mesti dikerjakan mereka harus mengerti detail visi organisasi. Mengerti tentu beda sekali dengan mengetahui. Ketika saya fasih mengucapkan Indonesia Sehat 2010 tetapi tidak memahami keadaan sehat 2010 yang ingin diwujudkan itu seperti apa, maka jelas tingkatan saya belum pada tahap mengetahui. Dan suatu visi baru punya POTENSI untuk TERWUJUD jika para pelakunya berada pada level memahami. Lantas bagaimana dengan insan kesehatan Indonesia, sudahkah sampai pada tingkatan memahami. Jika ditilik bahwa tahun 2010 tinggallah sebentar lagi tentu rasanya tidak perlu mempertanyakan tingkat pemahaman itu karena so pasti sudah mendarah-daging. Namun tidak ada salahnya jika kita memastikan, bukan. Paling tidak sekedar untuk memuaskan keingin-tahuan. Lebih-lebih baru-baru ini seorang dosen bidang ilmu kesehatan dari sebuah perguruan tinggi negeri terkenal pada suatu acara seminar mengatakan bahwa visi Indonesia sehat 2010 tinggallah wacana. Wow….. alangkah tragisnya jika ucapan beliau benar. Jadi pembangunan kesehatan kita selama ini diarahkan kemana??? Benarkah semua ini karena visi itu masih demikian elitis hingga hanya segelintir top level manajemen yang memahami. Benarkah rumor bahwa institusi kesehatan menganut prinsip no management pada organisasi mereka?
Orang awam semacam saya, mahasiswa, tokoh masyarakat, aparat desa, camat, bupati, gubernur, presiden, maupun anggota dewan di semua tingkatan dapat mengajukan beberapa pertanyaan sederhana untuk menilai seberapa paham para pekerja kesehatan yang ada di sekitar kita akan visi Indonesia sehat 2010. Sebuah visi, seperti Indonesia 2030 misalnya, bagaimanapun tentu memiliki indikator-indikator pencapaian. Contoh indikator untuk Indonesia 2030 adalah perekonomian Indonesia akan menjadi kekuatan nomer 5 di dunia, PDB Indonesia bisa mencapai 5,1 triliun $US dengan pendapatan perkapita US$ 18.000 per tahun. Kepahaman tentang Indikator ini yang kita jadikan pertanyaan awal. Jika jawaban yang diberikan praktisi kesehatan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Pertanyaan kunci kedua adalah sampai saat ini berapa persen sich dari visi tersebut yang telah tercapai. Jadi esensi yang kita tanyakan adalah sudah seberapa jauh kita melangkah dan sudah seberapa dekat dengan sasaran, serta mungkinkah dengan sisa waktu yang ada kita meraihnya. Sama dengan pertanyaan awal, jika jawaban yang diberikan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Pertanyaan terakhir adalah di mana posisi pekerja kesehatan tersebut dalam struktur besar visi Indonesia sehat 2010 tersebut dan konstribusi apa yang mesti diberikannya untuk perwujudannya. Intinya kita ingin menilai seberapa tahu dia akan tugas dan kewajiban (baca: tupoksi) yang diembannya. Juga masih sama dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, jika jawaban yang diberikan terkesan abstrak, tidak jelas, dan melingkar-lingkar, serta mengada-ada, jangan pernah ragu untuk menyimpulkan bahwa yang bersangkutan TIDAK MENGERTI!
Ketidak-pahaman satu dua orang dalam suatu institusi besar, secara organisatoris, barangkali masih bisa diterima meski tetap tidak bisa ditolelir. Namun jika ketidak-mengertian ini meluas secara vertikal dan horisontal, apalagi juga menyentuh pada posisi-posisi kunci seperti kepala puskesmas, kapala bidang, kepala dinas, dan seterusnya, maka kapabilitas institusi tersebut patut dipertanyakan. Keefektifan manajemen di institusi tersebut juga layak digugat. Jangan-jangan benar ada kaidah NO MANAGEMENT di sana. Kenapa demikian? Untuk gugatan pertama, kita ilustrasikan saja seperti dalam suatu peperangan, akankah diperoleh kejayaan jika para komandan lapangannya sama sekali tidak mengerti pertempuran-pertempuran apa yang harus mereka menangkan. Dan seperti yang dikatakan oleh orang-orang bijak, bahwa ketika semua dukungan sudah diberikan tetapi hasilnya juga tetap nol besar, maka satu-satunya persoalan adalah pada sisi kapabilitasnya. Untuk gugatan kedua, salah satu fungsi dari manajemen adalah planning. Putusnya informasi tentang visi ke berbagai komponen organisasi menunjukkan bahwa planning di institusi tersebut asal-asalan. Ini bisa disebabkan karena memang dari awal sudah tidak ada niatan untuk mewujudkan visi atau bisa juga karena kemampuan dalam membuat perencaan ya cuma sebatas itu. Fungsi yang lain dari manajemen adalah controlling yang didalamnya mencakup evaluasi. Ketidak-jelasan/ketidak-tahuan tentang indikator pencapaian membuat pelaksaan evaluasi menjadi hal yang sulit kalau tidak mau dikatakan mustahil. Jika fungsi evaluating/controlling ini juga tidak jalan (ditambah fungsi perencanaan yang asal-asalan) tidak salah khan jika dikatakan istitusi tersebut menerapkan NO MANAGEMENT. No management berarti tidak ada tindakan konkrit. Tidak ada tindakan konkrit berarti cuma membual. Reformasi radikal adalah obat untuk institusi sakit semacam ini yang dalam bahasa ektremnya, mengutip ucapan GUS DUR pada sidang interpelasi pembubaran departemen sosial beberapa tahun silam, “… kalau menuruti kata hati, Depkes itu harusnya juga dibubarkan….”.
Nah, para anak bangsa, para pemerhati kesehatan, para stake holder, dan semua-semuanya saja, mari kita mulai mencermati derap pembangunan kesehatan kita supaya jangan sampai hanya berputar-putar tanpa arah. Jangan segan untuk melakukan pembenahan sesuai dengan kewenangan yang ada. Kalau perlu kita lakukan gerakan-gerakan pembaikotan, baik yang bersifat individu maupun institusi. Gerakan pembaikotan itu dapat berupa penolakan terhadap pejabat kesehatan yang terbukti pembual, gerakan penghentian anggaran terhadap semua kegiatan yang keluar dari koridor visi, dan sebagainya sesuai keadaan dan kewenangan masing-maswing. Bagaimanapun, menyerahkan urusan kepada para pembual akan hanya sangat menguras sumber daya yang begitu terbatas. Dan yang paling parah adalah peluang munculnya malapetaka yang disebabkan oleh pemimpin yang tidak punya visi.

1 comment:

Anonymous said...

Boleh kenal anda siapa ??