Sunday, June 10, 2007

NEO FIR'AUN

Konon menurut para ahli agama, Fir’aun ditenggelamkan Tuhan bukan karena dia mengaku-aku sebagai tuhan tetapi lebih dikarenakan dia telah melakukan kesewenang-wenangan dan berbuat kerusakan. Sejarah mencatat, bagaimana fir’aun memperbudak satu golongan (bani israel) demi melanggengkan kekuasaannya (beserta kaumnya yang note bene adalah bangsa mesir). Tidak tanggung-tanggung, Fir’aun bahkan merusaha mencegah golongan tertindas ini hijrah ke tempat yang lebih baik. Kekuasaan cenderung untuk menggelincirkan (power tend to corrupt) dan itu bukan saja terjadi di masa lalu tetapi berlangsung hingga detik ini. Meski Fir’aun dengan kerajaan mesir kunonya telah terhapus dari permukaan bumi, praktek-praktek ala Fir’aun tetap mewarnai kehidupan umat manusia. Pertarungan melanggengkan kekuasaan kerap membawa manusia melampaui batas dan mendorongnya untuk menjadi mahluk cacat (punya mata tetapi tidak bisa melihat, punya telinga tetapi tidak bisa mendengar, punya hati tetapi tidak bisa berempati). Energi negatif Fir’aun ini berkemampuan untuk berhembus kemana-mana, termasuk di jajaran birokrasi yang idealnya terjaga dari politik praktis kekuasaan.
Institusi kesehatan Indonesia beserta seluruh jajarannya ke bawah, barangkali menjadi yang paling disoroti, jika tidak mau dikatakan yang paling ekstrem, berkaitan dengan kontamisasi energi fir’aun. Dominasi profesi dokter begitu lekat di lembaga ini sampai-sampai muncul istilah departemen kedokteran dan bukan departemen kesehatan untuk menggambarkan kuatnya hegemonitas dokter. Dalam sistem pengelolaan sumber daya manusia di institusi ini seolah hanya mengenal dua katagori saja yakni dokter dan non-dokter. Golongan dokter dengan previlagenya yang luar biasa dalam soal karier serta jabatan kunci dan golongan non-dokter yang boleh dibilang hanya sekedar pelengkap penderita. Pengejah-wantahan lebih lanjut dari tata kepegawaian semacam itu adalah terjadinya penyekatan strata karier yang tidak mungkin dapat ditembus. Jadi jika anda masuk jadi pegawai dengan menggunakan ijazah SLTA, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, dll meski pada perjalanan kepegawaian selanjutnya anda telah menamatkan pendidikan S1, S2, dan seterusnya, persoalan karir tetaplah menjadi area tertutup (forbidden area) bagi anda. Namun sebaliknya jika anda terlahir dari almamater kedokteran, seburuk apapun kemampuan managerial anda, peluang jabatan masih tetap terbuka (paling sial sebagai kepala puskesmas / eselon VI). Cobalah sesekali anda perhatikan puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, ataupun institusi kesehatan terdekat lainnya, berapa persen sich yang jabatan kuncinya dipegang oleh golongan non-dokter. Bahkan tak jarang pengosongan jabatan untuk waktu yang relatif panjang pun ditempuh karena belum adanya kandidat dokter meski profesi lain yang sangat kualified cukup berlimpah di sana. Di puskesmas kondisinya bisa lebih parah dengan terjadinya pembusukan aturan administratif kepegawaian yang dilakukan secara enteng dan kasat mata. Contohnya penunjukan pegawai tidak tetap sebagai kepala puskesmas (eselon VI) hanya lantaran yang bersangkutan seorang dokter.
Model perekrutan pemimpin yang tendensius semacam ini tentu beresiko karena kesempatan istitusi untuk mendapat tenaga terbaiknya menjadi semakin dipersempit. Profesionalitas pun hanya sekedar wacana. Institusi lebih mirip sebuah perusahaan keluarga yang seringkali mempunyai kebijakan yang “ajaib” berdasarkan filosofi dan prinsip keluarga. Padahal jika kita telaah secara jernih, keahlian yang dibutuhkan untuk jabatan-jabatan struktural seperti kepala puskesmas, kepala bidang, kepala dinas, kepala rumah sakit, dll adalah kemampuan-kemampuan manajerial, dan bukan kemampuan tehnis (kedokteran). Belum bakunya standart minimal profesionalitas seorang pejabat struktural pada institusi publik telah memberi kesempatan para fir’aunis untuk mengembangkan lingkungan “family business”.
Argumen fungsionalitas institusi kesehatan yang menempatkan profesi dokter sebagai figur sentral juga kurang lagi tepat. Perkembangan lingkungan eksternal dan internal yang kian komplek menuntut organisasi untuk makin adaptable dan cerdas jika tidak ingin teraliansi dan tercerabut dari akarnya. Kemampuan membaca lingkungan, kemampuan menjalankan suatu proses, kemampuan “fixing problem” bila terjadi kemacetan adalah prasyarat mendasar yang jelas-jelas tidak didapat dari keterampilan dan sertifikasi kurikulum pendidikan kedokteran. Lalu kenapa para lulusan yang masih ingusan dari fakultas kedokteran bisa langsung menjadi kepala puskesmas? Jawabnya adalah karena institusi kesehatan bukan lagi institusi publik melainkan perusahaan keluarga yang kebijakannya tergantung pada “mood” pemiliknya.
Coba bandingkan dengan institusi fungsionalitas lain seperti institusi pendidikan misalnya. Di institusi pendidikan ini rekruitmen kepemimpinannya jauh lebih sehat. Seorang guru baru yang sama sekali tidak memiliki pengalaman birokrasi tidak akan serta merta bisa menjadi kepala sekolah hanya lantaran dia alumnus jurusan tertentu. Proses pematangan dan seleksi berlangsung secara alamia. Arogansi primordial pun tidak menemukan tempatnya. Urusan karir mutlak menjadi pilihan bagi pegawai bersangkutan. mereka bebas menentukkan pengabdian di jalur struktural atau tetap menekuni fungsionalnya sebagai tenaga pengajar. Institusi hanya tinggal menyediakan lahan dan lingkungan yang sehat dan kondusif berupa kesamaan kesempatan dan kepastian hukum.
Ketimpangan di institusi kesehatan ini identik dengan pola pemerintahan fir’aun di mana yang pihak yang terlahir dari satu golongan (bangsa mesir) mendapat hak-hak istimewa sementara yang naas terlahir dari segolongan lainnya (bani israel) hanya mendapat jatah sebagai budak seumur hidup sepotensial apapun dia. Fir’aun tidak mau menerima kenyataan sejarah bahwa negerinya pernah berjaya ketika seorang keturunan bani israel (Yusuf/Yosep) memperoleh tempat pada jejaring kekuasaan kerajaan mesir. Bandingan juga praktek di institusi kesehatan ini dengan (almarhum) politik perbedaan warna kulit di afrika selatan. Semua setali tiga uang. Semua bersumber dari kerakusan akan kekuasaan. Semua diakibatkan oleh kekotoran keyakinan akan hegemonitas. Semua membabi-buta menginjak-injak prinsip universalitas.
Elit institusi kesehatan Indonesia bisa saja berkelit dengan menyatakan telah dikeluarkannya sejumlah peraturan yang mendukung prinsip kesamaan kesempatan seperti misalnya SK menkes tahun 2004 tentang puskesmas. Namun semua itu baru pada tahapan dejure. Defacto-nya, tarian nafsu fir’aun tetap meliuk-liuk dengan bebasnya, pola perusahaan keluarga tetap bertahan terus. Sebuah lagi aturan yang sekedar hanya jadi tameng dan pajangan dibuat. Kuatnya sinyal kegagalan misi institusi kesehatan seperti misalnya makin intensnya kemunculan berbagai wabah, amburadulnya pelayanan, tidak jelasnya konsep, lemahnya manajemen, dll seolah hanya sekedar menjadi kerlip lampu disco yang membuat suasana pesta pora tambah semarak. Entah kapan tangan Tuhan akan menenggelamkan para fir’aunis ini. TNI telah berhasil mereformasi dirinya hinga tidak ada lagi matra yang dominan dan merasa diri paling berhak untuk menduduki jabatan pangab. Dephankam juga telah berhasil berbenah hingga menterinya tidak lagi harus dari latar belakang militer. Demikian juga dengan Polri yang kini tidak lagi merasa inferior dan mampu berdiri sejajar dengan TNI. Dimana kau “Musa”, dimana kau “Nelson Mandela”. Kapankah institusi kesehatan melakukan pertobatan. Kapankah ada presiden yang berani menunjuk menkes bukan dari dokter, kapan ada gubernur/walikota/bupati yang berani memilih pejabat non-dokter sebagai kepala dinas. Kapan ada pejabat publik yang berani memilih non-dokter sebagai kepala rumah sakit. Kapan kesetaraan kesempatan dan keadilan menjiwai pengelolaan SDM di institusi kesehatan. Kapan? Mudah-mudahan jangan sampai menjadi KAPAN-KAPAN!

No comments: